Pages

Monday, February 25, 2013

PEMBERLAKUAN PAJAK DAERAH


Paling lambat tanggal 1 Januari 2014 PBB-P2 akan dikelola oleh kabupaten/kota dan dalam hal sebelum tahun 2014 terdapat kabupaten/kota sudah siap untuk mengelola PBB-P2, yang dibuktikan dengan telah disahkannya Perda, maka kabupaten/kota dimaksud dapat mengelola PBB-P2 mulai tahun tersebut.
Tujuan di balik pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak daerah sesuai UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) adalah untuk meningkatkan local taxing power pada kabupaten/kota, seperti:
  1.       Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah
  2.       Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah)
  3.       Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah
  4.       Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah
Terkait PBB-P2, pemerintah pusat akan mengalihkan semua kewenangan terkait pengelolaan PBB-P2 kepada kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain: proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan, dan pelayanan. Dengan subjek pajak yang sama yaitu Orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. (Pasal 4 Ayat 1 UU PBB sama dengan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU PDRD).
Sementara untuk objek pajak sesuai dengan:
  •       UU PBB    : bumi dan/atau bangunan
  •       UU PDRD : bumi dan/atau bangunan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Keuntungan bagi pemerintah kabupaten/kota dengan pengelolaan PBB-P2 adalah penerimaan dari PBB 100% akan masuk ke pemerintah kabupaten/kota. Saat dikelola oleh Pemerintah Pusat (DJP) pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%.
Dalam mempersiapkan diri untuk mengelola PBB-P2, kabupaten/kota dapat berpedoman pada Undang-Undang PDRD dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
Selain itu Direktur Jenderal Pajak juga telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah
Hal itu juga menyangkut tugas dan tanggungjawab kabupaten/kota dalam rangka persiapan pengalihan PBB-P2 dimana pemda harus menyiapkan:
  1.       Perda, Perkepda, dan SOP
  2.       Sumber Daya Manusia
  3.       Struktur organisasi dan tata kerja
  4.       Sarana dan prasarana
  5.       Pembukaan rekening penerimaan
  6.       Kerja sama dengan pihak-pihak terkait (notaris/PPAT, BPN, dll)
Pemda dapat mengadopsi banyak hal dari DJP terkait pengelolaan pajak, antara lain:
  1.       Tarif efektif, sistem administrasi PBB (pendataan, penilaian, penetapan, dll.)
  2.       Kebijakan/peraturan dan SOP pelayanan 
  3.       Keahlian SDM (melalui pelatihan)
  4.       Sistem manajemen informasi objek pajak, dll.

Selain itu, pemda juga perlu memperhatikan beberapa hal dalam mengelola PBB-P2, yaitu:
  1.       Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan, dan keseimbangan antar wilayah
  2.       Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
  3.       Menjaga kualitas pelayanan kepada WP
  4.       Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga

Dengan pengalihan PBB-P2 ini pemda akan memiliki banyak peluang yang dapat diperoleh, seperti:
  1.       Penyeimbangan kepentingan budgeter dan reguler karena diskresi kebijakan ada di kabupaten/kota.
  2.       Penggalian potensi penerimaan yang lebih optimal karena jaringan birokrasi yang lebih luas
  3.       Peningkatan kualitas pelayanan kepada WP
  4.       Peningkatan akuntabilitas penggunaan penerimaan PBB

Meskipun pengalihan PBB-P2 akan menimbulkan banyak manfaat, tetapi terdapat beberapa tantangan yang akan dihadapi dalam pengalihan tersebut, antara lain:
  1.       Kesiapan kabupaten/kota pada masa awal pengalihan yang belum optimal, sehingga dapat berdampak pada penurunan pelayanan, penerimaan, dll.
  2.       Kesenjangan (disparitas) kebijakan PBB-P2 antar kabupaten/kota
  3.       Hilangnya potensi penerimaan bagi provinsi (16,2%) dan hilangnya potensi penerimaan insentif PBB khususnya bagi kabupaten/kota yang potensi PBB-P2-nya rendah
  4.       Beban biaya pemungutan PBB-P2 yang cukup besar.

Sehingga pemerintah pusat perlu memberikan standar yang bisa menjadi tolak ukur keberhasilan pengalihan PBB-P2, meliputi:
  1.       Proses pengalihan berjalan lancar dengan biaya yang minimal
  2.       Stabilitas penerimaan PBB-P2 tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat diterima
  3.       WP tidak merasakan adanya penurunan pelayanan

DEFINISI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan (P2) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan masih dikenakan Pajak Pusat paling lambat sampai dengan 31 Desember 2013 sampai ada ketentuan Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan yang diberlakukan di daerah masing-masing.
PBB yang dialihkan menjadi Pajak Kabupaten/Kota hanya PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2), sementara PBB sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3) masih tetap menjadi Pajak Pusat.
Objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Dalam UU PBB dikenakan untuk semua sektor:
  1. Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.
  2. Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
Sementara itu objek pajak yang tidak dikenakan PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah objek yang :
a.         Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaran pemerintahan;
b.        Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti masjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
c.         Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
d.        Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
e.         Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
f.         Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
·         mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau;
·         memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau;
·         memiliki bangunan, dan/atau;
·         menguasai bangunan, dan/atau;
·         memperoleh manfaat atas bangunan.
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Dasar pengenaan PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan osetiap tahun sesuai perkembangan wilayah. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.

Berikut adalah tabel rangkuman perbedaan UU PBB dan UU PDRD
Materi
UU PBB
UU PDRD
Subjek
Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasa dan/atau memanfaatkan atas bangunan
Tidak ada perubahan
Tarif
Tunggal 0,5%
Paling tinggi 0,3%
NJKP
20% s.d. 100% (PP 25 Tahun 2002 ditetapkan sebesar 20% atau 40%)
Tidak ada
NJOPTKP
Paling tinggi Rp12.000.000 per Wajib Pajak
Paling rendah Rp10.000.000 per Wajib Pajak
PBB Terutang
0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP) atau 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
0,3% (maksimal) x (NJOP-NJOPTKP)

PENGERTIAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Menurut Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan tugasnya tersebut maka pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai karena untuk pelaksanaan pembangunan daerah itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber keuangan untuk penyelenggaraan pembangunan daerah tersebut adalah  dari dana perimbangan yang mana salah satunya merupakan dana bagi hasil pajak yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sehubungan dengan pentingnya sumber keuangan tersebut, menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yang kemudian dikutip oleh Mardiasmo (2009:1) menyatakan bahwa:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbul (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umun”.

Pengertian yang terkandung dalam Pajak Bumi dan Bangunan menurut Mardiasmo (2009:311) adalah sebagai berikut:
“Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang diusahakan”.

PBB merupakan pajak pusat karena dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk dalam dana perimbangan. PBB juga merupakan azas pembantuan karena dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah.

Sunday, February 24, 2013

PAJAK MINIMUM ALTERNATIF (ALTERNATIVE MINIMUM TAX)


AMT utamanya adalah sebuah sistem perpajakan bayangan dengan peraturan tersendiri untuk menghitung dasar pengenaan pajak dan daftar tarif pajaknya. Langkah pertama dalam penghitungan adalah mengambil penghasilan kena pajak biasa dan menambahkannya ke item yang disebut AMT preferences. Item ini termasuk (tetapi tidak dibatasi) pembebasan perseorangan, penurunan standard, dan merincikan penurunan untuk pajak daerah. Langkah selanjutnya adalah mengurangi pembebasan AMT. Hal ini akan memberikan kita alternative minimum tax incom (AMTI). Pembebasan tersebut sama tanpa menghiraukan jumlah tanggungan dan penghapusan setahap demi setahap untuk individu berpenghasilan tinggi.

PAJAK DAN INFLASI


Bagaimana Inflasi Dapat Mempengaruhi Pajak?

Anggaplah bahwa penghasilan seseorang dan tingkat harga sama-sama naik dengan tingkat yang sama sepanjang waktu. Kemudian penghasilan riil orang tersebut (jumlah dari data beli aktual) tidak berubah. Namun demikian, sistem perpajakan yang tak tersusun didasarkan pada penghasilan individual, nilai dari uang yang diterima. Sehingga penghasilan nominal naik, individu tersebut didorong ke dalam golongan pajak dengan tarif pajak marjinal yang lebih tinggi. Sehingga proporsi penghasilan yang dipajaki naik meskipun faktanya penghasilan riil tetap sama. Bahkan individu yang tidak terdorong ke dalam golongan pajak yang lebih tinggi merasa penghasilan mereka dipajaki pada tingkat tertinggi dimana mereka tergolong sebagai subjek pajak. Inflasi membawa kenaikan otomatis dalam dalam beban pajak meskipun tanpa adanya campur tangan pemerintah.
Efek lain dari inflasi terjadi ketika terjadi pembebasan dan penurunan standard diterapkan dalam syarat nominal. Dalam sistem perpajakan yang tak tersusun, kenaikan tingkat harga menurunkan nilai riilnya. Lagi-lagi, inflasi menaikkan tarif pajak efektif.

STRUKTUR TARIF PAJAK


Tarif Efektif vs Tarif Tetap
Di bawah ini adalah perbedaan antara kedua tarif tersebut, yaitu:
·      Karena sistem perpajakan menetapkan jenis-jenis tertentu dari penghasilan, penghasilan kena pajak mungkin jauh lebih rendah dari keseluruhan penghasilan. Fakta bahwa tarif pajak naik secara cepat terhadap penghasilan kena pajak tidak secara sendirinya menunjukkan bahwa pajak mengurangi jumlah penghasilan.
·      Bahkan tanpa adanya jalan keluar, hubungan antara tarif tetap dan tarif efektif adalah lemah.
·      Sistem perpajakan menentukan turunnya utilitas yang mengurangi jumlah pendapatan.
Secara umum, tingkat pengembalian pajak tergantung pada jumlah yang mencerminkan keuntungan pajak. Karena ketergantungan ini, individu berpenghasilan tinggi akan menghadapi tarif pajak yang lebih tinggi dari penghasilan mereka ketimbang tagihan pajak yang mereka ajukan. Mereka secara implisit dipajaki dalam bentuk tingkat pengembalian pajak yang lebih rendah.
Suatu rencana yang telah menerima banyak perhatian adalah pajak penghasilan rata (flat income tax). Pajak penghasilan rata mempunyai dua sifat, yaitu:
1.      Diterapkan pada tarif yang sama untuk semua orang dan untuk setiap komponen penghasilan.
2.      Membolehkan penghitungan dasar pajak tanpa pemotongan dari total penghasilan, kecuali pembebasan perseorangan dan beban usaha tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Asumsikan bahwa sejumlah pendapatan pajak harus diperoleh, kunci trade-off dalam pajak penghasilan rata adalah antara ukuran pembebasan perseorangan dan tarif pajak marjinal. Pembebasan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan untuk melindungi mereka yang berpenghasilan rendah dan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pembebasan yang lebih tinggi berarti tarif pajak marjinal yang lebih tinggi harus diterapkan untuk mempertahankan pendapatan.

KOMBINASI BISNIS


Dengan pengecualian terbatas, aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas diambil alih dalam kombinasi bisnis diakui pada nilai wajar pada tanggal akuisisi. Perbedaan temporer timbul jika dasar pengenaan pajak aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas diambil-alih tidak terpengaruh oleh kombinasi bisnis atau terpengaruh dengan cara berbeda. Misalnya, jika jumlah tercatat aset disesuaikan ke nilai wajarnya tetapi dasar  pengenaan pajak aset tersebut tetap sebesar harga perolehan sebelumnya, maka timbul perbedaan temporer yang mengakibatkan timbulnya liabilitas pajak tangguhan. Hasil liabilitas pajak tangguhan tersebut mempengaruhi goodwill.
Dengan beberapa pengecualian, entitas mengakui aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambil-alih dalam kombinasi bisnis dengan nilai wajar pada tanggal akuisisi. Ketika liabilitas yang diambil-alih diakui pada tanggal akuisisi tetapi biaya terkait tidak dikurangkan dalam menentukan laba kena pajak hingga periode kemudian, maka timbul perbedaan temporer dapat dikurangkan yang menghasilkan aset pajak tangguhan. Aset pajak tangguhan juga timbul jika nilai wajar aset teridentifikasi yang diperoleh lebih rendah daripada dasar pengenaan pajaknya. Pada kedua kasus tersebut, aset pajak tangguhan yang dihasilkan mempengaruhi goodwill.
Entitas mengakui setiap setiap aset pajak tangguhan jika memenuhi kriteria pengakuan atau liabilitas pajak tangguhan sebagai aset dan liabilitas teridentifikasi pada tanggal akuisisi. Oleh karena itu, aset dan liabilitas pajak tangguhan tersebut mempengaruhi jumlah goodwill atau keuntungan dari pembelian dengan diskon yang diakui entitas. Namun, entitas tidak mengakui liabilitas pajak tangguhan yang ditimbulkan dari pengakuan awal goodwill.[]