Pages

Saturday, February 23, 2013

PENYELEWENGAN HAK KELAHIRAN DAN PERJANJIAN ISMAIL DI DALAM PERJANJIAN LAMA


Sebagian besar Muslim di dunia pasti bertanya-tanya mengapa ketika Alkitab (Bibel) menjelaskan tentang peristiwa Akedah justru nama Ishaq yang disebut-sebut akan dikorbankan oleh ayahnya, Ibrahim, bukanlah Ismail seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an.
Ada perselisihan keagamaan yang sangat lama antara Ismailiah dan Israeliah mengenai beberapa persoalan menyangkut Hak Kelahiran dan Perjanjian. Para pembaca Alkitab (Bibel) dan Al-Qur’an pasti mengetahui tentang kisah Nabi Besar Ibrahim dan kedua anaknya Ismail dan Ishaq. Kisah tentang seruan Ibrahim dari Ur, Khaldea, dan kisah tentang keturunannya sampai kematian cucunya Yusuf di Mesir, tertulis dalam Kitab Kejadian. Dalam silsilahnya sebagaimana terekam dalam Kitab Kejadian, Ibrahim adalah keturunan keduapuluh dari Adam, dan sezaman dengan Namrud yang membangun Menara Babel.
Kisah awal tentang Ibrahim di Ur, Khaldea, meskipun tidak disebutkan dalam Alkitab, direkam oleh sejarawan Yahudi terkenal, Joseph Flavius, dalam karyanya yang berjudul Antiquities yang kemudian juga dikonfirmasi oleh Al-Qur’an. Namun, Alkitab secara jelas menyatakan bahwa ayah dari Ibrahim, yang bernama Terah (Azar), adalah seorang pembuat dan penyembah berhala (Yoshua 24: 2, 14).
Ibrahim mewujudkan kecintaan dan kesetiannya kepada Allah ketika ia memasuki Bait Allah dan menghancurkan semua patung dan berhala yang ada di dalamnya dengan alat pukul sejenis kapak yang besar. Atas tindakannya tersebut, dia ditangkap oleh tentara Namrud dan dimintai keterangan.
“Apakah benar bahwa engkau adalah orang yang telah menghancurkan patung dan berhala yang berada di dalam Bait Allah itu?” tanya Namrud kepada Ibrahim.
Dengan tenang Ibrahim menjawab.
“Bukankah kapak tersebut berada di leher patung yang paling besar, kenapa engkau menuduhku yang melakukannya. Berarti patung yang paling besar itulah pelakunya”.
Mendengar jawaban Ibrahim tersebut, Namrud yang mulai marah menimpali jawaban Ibrahim.
“Tetapi bukankah patung tersebut tidak bisa bergerak! Pasti engkau pelakunya!”
Lagi-lagi Ibrahim membuat Namrud marah besar ketika mendengar jawabannya.
“Kalau memang patung tersebut tidak bisa bergerak. Lantas mengapa kalian menyembahnya?”
Namrud yang marah besar tidak bisa membalas perkataan Ibrahim. Lalu dia menyuruh tentaranya untuk melempar Ibrahim ke dalam tungku api yang menyala-nyala. Namun, Ibrahim keluar dari tungku api dengan kemenangan dan tanpa cedera.
Kemudian, Ibrahim meninggalkan negeri asalnya menuju Haran. Dengan ketaatan dan kepasrahan mutlak terhadap seruan Ilahi, dia meninggalkan negerinya dan memulai suatu perjalanan yang panjang dan berliku ke negeri Kanaan, Mesir, dan Arabia. Istrinya, Sarah, adalah seorang wanita mandul, tetapi Allah memberitahu dia bahwa dia ditakdirkan untuk menjadi bapak dari banyak bangsa, bahwa semua wilayah yang dia lintasi dalam perjalanannya akan diberikan sebagai warisan kepada keturunannya, dan bahwa, “dengan Benihnya semua bangsa di muka bumi akan diberkahi”! Janji yang sangat hebat dan unik dalam sejarah agama ini diterima dengan keimanan yang tak tergoyahkan di pihak Ibrahim, yang tidak punya anak keturunan.
Ketika dia dibawa ke luar untuk memandang ke langit pada malam hari dan diberitahu oleh Allah bahwa anak cucunya akan sebanyak bintang di langit dan sama tidak terhitungnya dengan pasir di pantai. Ibrahim mempercayainya. Dan, keimanannya kepada Allah inilah yang “terhitung sebagai kebajikan,” sebagaimana dikatakan kitab-kitab suci.
Seorang gadis Mesir yang miskin dan berbudi luhur bernama Hajar, adalah seorang budak dan pelayan Sarah. Atas tawaran dan restu sang nyonya rumah, maka sang pelayan pun dinikahi oleh Ibrahim sebagaimana mestinya, dan dari pernikahan ini lahirlah Ismail, sebagaimana diramalkan oleh Malaikat.
Ketika Ismail berumur tiga belas tahun, Allah sekali lagi mendatangi Ibrahim melalui Malaikat-Nya dan wahyu; janji lama yang sama diulangi lagi kepada Ibrahim; upacara khitanan pun  secara resmi dilembagakan dan dengan segera dilaksanakan. Ibrahim pada usianya yang kesembilanpuluh, Ismail, dan semua pelayan laki-laki, dikhitan; dan ‘Perjanjian’ antara Allah dan Ibrahim bersama satu-satunya anak yang dilahirkan pun dibuat dan disahkan, seakan-akan dengan darah khitan. Hal itu semacam pakta antara Surga dan Negeri yang Dijanjikan yang ditandatangani dalam diri Ismail sebagai satu-satunya keturunan dari kepala keluarga nonagenarian[1]. Ibrahim menjanjikan kesetiaan dan kepatuhan pada Penciptanya, dan Allah menjanjikan untuk selamanya menjadi Pelindung dan Tuhan dari keturunan Ismail. Belakangan, ketika Ibrahim berusia 99 tahun dan Sarah 90 tahun, ternyata Sarah juga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ishaq, ini pun juga sesuai dengan janji Allah.
Karena tidak disampaikan urutan kronologisnya dalam Kitab Kejadian, maka dikisahkan setelah lahirnya Ishaq, Ismail dan ibunya dikeluarkan dan disuruh pergi dengan cara yang sangat kejam, semata-mata karena Sarah sangat menginginkannya.
Ismail dan ibunya pun terdampar di tengah gurun pasir. Dikisahkan bahwa Hajar yang kebingunan karena melihat Ismail yang menangis kehausan, berlari-lari sebanyak 7 kali untuk mencari sumber air antara Bukit Shofa dan Bukit Marwah yang kelak akan diabadikan dalam salah satu rukun haji, yaitu sa’i. Secara tidak sengaja kaki Ismail menendang sebongkah batu yang kemudian dari batu tersebut muncullah mata air yang sekarang dikenal dengan nama Mata Air Zamzam. Tidak ada lagi yang didengar tentang Ismail dalam Kitab Kejadian selain bahwa dia menikahi seorang perempuan Mesir, dan ketika Ibrahim meninggal dia hadir bersama Ishaq untuk menguburkan ayah mereka.
Kemudian Kitab Kejadian melanjutkan kisah tentang Ishaq, dua anaknya, turunnya Yaqub ke Mesir, dan diakhiri dengan kematian Yusuf.
Peristiwa penting berikutnya dalam sejarah Ibrahim seperti terekam dalam Kitab Kejadian (22) adalah pengorbanan “anak laki-laki satu-satunya” kepada Allah yang disebut Peristiwa Akedah, tetapi dia ditebus dengan seekor kambing jantan yang dipersembahkan oleh seorang malaikat. Allah berfirman Al-Qur’an:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata [bagi Ibrahim]”. (QS. Ash-Shaffat 37:106)
Tetapi kecintaannya kepada Allah melebihi setiap kecintaan lainnya; karena alasan inilah maka dia dijuluki “Sahabat Allah”.
Demikianlah cerita singkat mengenai Ibrahim dalam hubungannya dengan subjek tentang Hak Kelahiran dan Perjanjian.
Ada tiga poin berbeda yang harus diterima sebagai kebenaran oleh setiap orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah:
Poin pertama adalah bahwa Ismail adalah anak sah Ibrahim, anak pertamanya, dan oleh sebab itu klaimnya terhadap hak kelahiran sangatlah adil dan sah.
Poin kedua adalah bahwa Perjanjian dibuat antara Allah dan Ibrahim dan juga anak satu-satunya, Ismail, sebelum Ishaq lahir. Perjanjian dan kebiasaan Khitan itu tidak akan punya nilai atau arti penting kalau janji yang diulang-ulang itu tidak terkandung dalam firman Tuhan,
“Melaluimu semua bangsa akan diberkahi,”
Dan khususnya ungkapan,
“Benih yang akan keluar dari mangkuk-mangkuk, dia akan menjadi ahli warismu”. (Kejadian 15:4)
Janji ini dipenuhi ketika Ismail lahir (Kejadian 16), dan Ibrahim mendapat penghiburan bahwa pelayan utamanya, Eliezer, tidak akan lagi menjadi ahli warisnya.
Konsekuensinya, harus diakui bahwa Ismail adalah pewaris martabat dan hak istimewa Ibrahim yang riil dan sah. Warisan yang menjadi hak Ismail karena hak keturunan bukanlah tenda tempat Ibrahim bernaung atau seekor unta tertentu yang biasa dia tunggangi, tetapi hak untuk menaklukkan dan menduduki selamanya seluruh wilayah yang membentang dari Sungai Nil sampai Efrat, yang dihuni sekitar sepuluh bangsa yang berbeda-beda (Kejadian 17: 18-21). Negeri-negeri ini belum pernah ditaklukkan oleh keturunan Ishaq, melainkan oleh keturunan Ismail. Inilah pemenuhan yang aktual dan sesuai dengan kenyataan terhadap salah satu syarat yang termuat dalam Perjanjian.
Poin ketiga adalah bahwa Ishaq juga lahir secara ajaib dan secara khusus diberkati oleh Allah, bahwa untuk kaumnyalah negeri Kanaan dijanjikan dan benar-benar dikuasai oleh Yoshua. Tidak seorang Muslim pun akan berpikir untuk merendahkan kedudukan Ishaq dan anaknya, Yaqub.
Meskipun demikian ada satu lagi poin perselisihan yang fundamental di antara kedua bangsa, Ismailiah dan Israeliah, yang sekarang sudah eksis selama hampir empat ribu tahun; dan bahwa persoalan tersebut adalah mengenai Al-Masih dan Muhammad. Kaum Yahudi tidak melihat pemenuhan atas apa yang disebut nubuat-nubuat Mesianis dalam diri Isa atau dalam diri Muhammad. Kaum Yahudi selalu cemburu terhadap Ismail karena mereka sangat mengetahui bahwa karena dirinya maka Perjanjian dibuat dan melalui pengkhitanannya maka Perjanjian pun ditandatangani dan disahkan. Dan, karena dendam inilah para penulis dan doktor hukum mereka menyelewengkan dan menyisipkan banyak bagian dalam kitab-kitab Suci mereka. Menghapuskan nama ‘Ismail’ dari ayat kedua, keenam, dan ketujuh dalam pasal keduapuluh Kitab Kejadian dan memasukkan ‘Ishaq’ sebagai gantinya. Itulah alasan mengapa justru nama Ishaq yang disebut-sebut akan dikorbankan oleh Ibrahim dalam Peristiwa Akedah.[]


[1] Orang yang berumur antara 90-99 tahun

No comments:

Post a Comment