Sebagian
besar Muslim di dunia pasti bertanya-tanya mengapa ketika Alkitab (Bibel) menjelaskan
tentang peristiwa Akedah justru nama Ishaq yang disebut-sebut akan dikorbankan
oleh ayahnya, Ibrahim, bukanlah Ismail seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an.
Ada
perselisihan keagamaan yang sangat lama antara Ismailiah dan Israeliah mengenai
beberapa persoalan menyangkut Hak Kelahiran dan Perjanjian. Para pembaca
Alkitab (Bibel) dan Al-Qur’an pasti mengetahui tentang kisah Nabi Besar Ibrahim
dan kedua anaknya Ismail dan Ishaq. Kisah tentang seruan Ibrahim dari Ur,
Khaldea, dan kisah tentang keturunannya sampai kematian cucunya Yusuf di Mesir,
tertulis dalam Kitab Kejadian. Dalam silsilahnya sebagaimana terekam dalam
Kitab Kejadian, Ibrahim adalah keturunan keduapuluh dari Adam, dan sezaman
dengan Namrud yang membangun Menara Babel.
Kisah
awal tentang Ibrahim di Ur, Khaldea, meskipun tidak disebutkan dalam Alkitab,
direkam oleh sejarawan Yahudi terkenal, Joseph Flavius, dalam karyanya yang
berjudul Antiquities yang kemudian
juga dikonfirmasi oleh Al-Qur’an. Namun, Alkitab secara jelas menyatakan bahwa
ayah dari Ibrahim, yang bernama Terah (Azar), adalah seorang pembuat dan
penyembah berhala (Yoshua 24: 2, 14).
Ibrahim
mewujudkan kecintaan dan kesetiannya kepada Allah ketika ia memasuki Bait Allah
dan menghancurkan semua patung dan berhala yang ada di dalamnya dengan alat
pukul sejenis kapak yang besar. Atas tindakannya tersebut, dia ditangkap oleh
tentara Namrud dan dimintai keterangan.
“Apakah
benar bahwa engkau adalah orang yang telah menghancurkan patung dan berhala
yang berada di dalam Bait Allah itu?” tanya Namrud kepada Ibrahim.
Dengan
tenang Ibrahim menjawab.
“Bukankah
kapak tersebut berada di leher patung yang paling besar, kenapa engkau
menuduhku yang melakukannya. Berarti patung yang paling besar itulah
pelakunya”.
Mendengar
jawaban Ibrahim tersebut, Namrud yang mulai marah menimpali jawaban Ibrahim.
“Tetapi
bukankah patung tersebut tidak bisa bergerak! Pasti engkau pelakunya!”
Lagi-lagi
Ibrahim membuat Namrud marah besar ketika mendengar jawabannya.
“Kalau
memang patung tersebut tidak bisa bergerak. Lantas mengapa kalian
menyembahnya?”
Namrud
yang marah besar tidak bisa membalas perkataan Ibrahim. Lalu dia menyuruh
tentaranya untuk melempar Ibrahim ke dalam tungku api yang menyala-nyala.
Namun, Ibrahim keluar dari tungku api dengan kemenangan dan tanpa cedera.
Kemudian,
Ibrahim meninggalkan negeri asalnya menuju Haran. Dengan ketaatan dan
kepasrahan mutlak terhadap seruan Ilahi, dia meninggalkan negerinya dan memulai
suatu perjalanan yang panjang dan berliku ke negeri Kanaan, Mesir, dan Arabia.
Istrinya, Sarah, adalah seorang wanita mandul, tetapi Allah memberitahu dia
bahwa dia ditakdirkan untuk menjadi bapak dari banyak bangsa, bahwa semua
wilayah yang dia lintasi dalam perjalanannya akan diberikan sebagai warisan
kepada keturunannya, dan bahwa, “dengan Benihnya semua bangsa di muka bumi akan
diberkahi”! Janji yang sangat hebat dan unik dalam sejarah agama ini diterima
dengan keimanan yang tak tergoyahkan di pihak Ibrahim, yang tidak punya anak
keturunan.
Ketika
dia dibawa ke luar untuk memandang ke langit pada malam hari dan diberitahu
oleh Allah bahwa anak cucunya akan sebanyak bintang di langit dan sama tidak
terhitungnya dengan pasir di pantai. Ibrahim mempercayainya. Dan, keimanannya
kepada Allah inilah yang “terhitung sebagai kebajikan,” sebagaimana dikatakan
kitab-kitab suci.
Seorang
gadis Mesir yang miskin dan berbudi luhur bernama Hajar, adalah seorang budak
dan pelayan Sarah. Atas tawaran dan restu sang nyonya rumah, maka sang pelayan
pun dinikahi oleh Ibrahim sebagaimana mestinya, dan dari pernikahan ini
lahirlah Ismail, sebagaimana diramalkan oleh Malaikat.
Ketika
Ismail berumur tiga belas tahun, Allah sekali lagi mendatangi Ibrahim melalui
Malaikat-Nya dan wahyu; janji lama yang sama diulangi lagi kepada Ibrahim;
upacara khitanan pun secara resmi
dilembagakan dan dengan segera dilaksanakan. Ibrahim pada usianya yang
kesembilanpuluh, Ismail, dan semua pelayan laki-laki, dikhitan; dan
‘Perjanjian’ antara Allah dan Ibrahim bersama satu-satunya anak yang dilahirkan
pun dibuat dan disahkan, seakan-akan dengan darah khitan. Hal itu semacam pakta
antara Surga dan Negeri yang Dijanjikan yang ditandatangani dalam diri Ismail
sebagai satu-satunya keturunan dari kepala keluarga nonagenarian[1].
Ibrahim menjanjikan kesetiaan dan kepatuhan pada Penciptanya, dan Allah
menjanjikan untuk selamanya menjadi Pelindung dan Tuhan dari keturunan Ismail.
Belakangan, ketika Ibrahim berusia 99 tahun dan Sarah 90 tahun, ternyata Sarah
juga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ishaq, ini pun juga
sesuai dengan janji Allah.
Karena
tidak disampaikan urutan kronologisnya dalam Kitab Kejadian, maka dikisahkan
setelah lahirnya Ishaq, Ismail dan ibunya dikeluarkan dan disuruh pergi dengan
cara yang sangat kejam, semata-mata karena Sarah sangat menginginkannya.
Ismail
dan ibunya pun terdampar di tengah gurun pasir. Dikisahkan bahwa Hajar yang
kebingunan karena melihat Ismail yang menangis kehausan, berlari-lari sebanyak
7 kali untuk mencari sumber air antara Bukit Shofa dan Bukit Marwah yang kelak
akan diabadikan dalam salah satu rukun haji, yaitu sa’i. Secara tidak sengaja kaki
Ismail menendang sebongkah batu yang kemudian dari batu tersebut muncullah mata
air yang sekarang dikenal dengan nama Mata Air Zamzam. Tidak ada lagi yang
didengar tentang Ismail dalam Kitab Kejadian selain bahwa dia menikahi seorang
perempuan Mesir, dan ketika Ibrahim meninggal dia hadir bersama Ishaq untuk
menguburkan ayah mereka.
Kemudian
Kitab Kejadian melanjutkan kisah tentang Ishaq, dua anaknya, turunnya Yaqub ke
Mesir, dan diakhiri dengan kematian Yusuf.
Peristiwa
penting berikutnya dalam sejarah Ibrahim seperti terekam dalam Kitab Kejadian
(22) adalah pengorbanan “anak laki-laki satu-satunya” kepada Allah yang disebut
Peristiwa Akedah, tetapi dia ditebus dengan seekor kambing jantan yang
dipersembahkan oleh seorang malaikat. Allah berfirman Al-Qur’an:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata
[bagi Ibrahim]”.
(QS. Ash-Shaffat 37:106)
Tetapi
kecintaannya kepada Allah melebihi setiap kecintaan lainnya; karena alasan
inilah maka dia dijuluki “Sahabat Allah”.
Demikianlah
cerita singkat mengenai Ibrahim dalam hubungannya dengan subjek tentang Hak
Kelahiran dan Perjanjian.
Ada tiga
poin berbeda yang harus diterima sebagai kebenaran oleh setiap orang yang
sungguh-sungguh beriman kepada Allah:
Poin pertama adalah bahwa Ismail adalah anak sah Ibrahim, anak
pertamanya, dan oleh sebab itu klaimnya terhadap hak kelahiran sangatlah adil
dan sah.
Poin kedua
adalah bahwa Perjanjian dibuat antara Allah dan Ibrahim dan juga anak
satu-satunya, Ismail, sebelum Ishaq lahir. Perjanjian dan kebiasaan Khitan itu
tidak akan punya nilai atau arti penting kalau janji yang diulang-ulang itu
tidak terkandung dalam firman Tuhan,
“Melaluimu semua bangsa akan diberkahi,”
Dan
khususnya ungkapan,
“Benih yang akan keluar dari mangkuk-mangkuk, dia akan menjadi ahli warismu”. (Kejadian 15:4)
Janji ini
dipenuhi ketika Ismail lahir (Kejadian 16), dan Ibrahim mendapat penghiburan
bahwa pelayan utamanya, Eliezer, tidak akan lagi menjadi ahli warisnya.
Konsekuensinya,
harus diakui bahwa Ismail adalah pewaris martabat dan hak istimewa Ibrahim yang
riil dan sah. Warisan yang menjadi hak Ismail karena hak keturunan bukanlah
tenda tempat Ibrahim bernaung atau seekor unta tertentu yang biasa dia
tunggangi, tetapi hak untuk menaklukkan dan menduduki selamanya seluruh wilayah
yang membentang dari Sungai Nil sampai Efrat, yang dihuni sekitar sepuluh
bangsa yang berbeda-beda (Kejadian 17: 18-21). Negeri-negeri ini belum pernah
ditaklukkan oleh keturunan Ishaq, melainkan oleh keturunan Ismail. Inilah
pemenuhan yang aktual dan sesuai dengan kenyataan terhadap salah satu syarat
yang termuat dalam Perjanjian.
Poin ketiga
adalah bahwa Ishaq juga lahir secara ajaib dan secara khusus diberkati oleh
Allah, bahwa untuk kaumnyalah negeri Kanaan dijanjikan dan benar-benar dikuasai
oleh Yoshua. Tidak seorang Muslim pun akan berpikir untuk merendahkan kedudukan
Ishaq dan anaknya, Yaqub.
Meskipun
demikian ada satu lagi poin perselisihan yang fundamental di antara kedua
bangsa, Ismailiah dan Israeliah, yang sekarang sudah eksis selama hampir empat
ribu tahun; dan bahwa persoalan tersebut adalah mengenai Al-Masih dan Muhammad.
Kaum Yahudi tidak melihat pemenuhan atas apa yang disebut nubuat-nubuat
Mesianis dalam diri Isa atau dalam diri Muhammad. Kaum Yahudi selalu cemburu
terhadap Ismail karena mereka sangat mengetahui bahwa karena dirinya maka Perjanjian dibuat dan melalui pengkhitanannya
maka Perjanjian pun ditandatangani dan disahkan. Dan, karena dendam inilah para
penulis dan doktor hukum mereka menyelewengkan dan menyisipkan banyak bagian
dalam kitab-kitab Suci mereka. Menghapuskan nama ‘Ismail’ dari ayat kedua,
keenam, dan ketujuh dalam pasal keduapuluh Kitab Kejadian dan memasukkan
‘Ishaq’ sebagai gantinya. Itulah alasan mengapa justru nama Ishaq yang
disebut-sebut akan dikorbankan oleh Ibrahim dalam Peristiwa Akedah.[]
No comments:
Post a Comment