Pages

Saturday, February 23, 2013

ABUL A’LA MAUDUDI


Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam di India. Ia lahir dalam sebuah keluarga syarif di Aurangabad, India Selatan, pada tanggal 25 September 1903. Rasa kedekatan keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahanda Maududi, sangat menyukai tasawuf. Dia berhasil menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Dia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang dia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran Bahasa Inggris dan sesuatu yang berbau modern, yang ada hanya Bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Oleh karena itu, Maududi menjadi seorang ahli Bahasa Arab pada usia muda.
Pada usia sebelas tahun, Maududi memasuki sekolah di Aurangabad. Di sini dia mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima tahun kemudian dia terpaksa meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya sakit keras dan kemudian wafat. Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang menaruh minat pada soal-soal agama, dia hanya suka politik. Sehingga Maududi tidak pernah mengakui dirinya sebagai ‘alim. Kebanyakan biografi Maududi hanya menyebut dirinya sebagai jurnalis yang belajar agama sendiri. Semangat nasionalisme India-nya tumbuh subur. Dalam beberapa esainya, dia memuji pimpinan Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya.
Pada tahun 1919, dia pergi ke Jubalpur untuk bekerja di koran mingguan partai pro-Kongres yang bernama Taj. Di sini dia menjadi sepenuhnya aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi kaum Muslim untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian Maududi kembali ke New Delhi dan berkenalan dengan pemimpin penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan surat kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan politik Maududi kian religius. Dia kemudian bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah) yang mendorong kaum Muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang dianggap sebagai Dar al-Islam (Negeri Islam).
Pada tahun 1921, Maududi berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind (Masyarakat Ulama India). Ulama jami’at yang terkesan dengan bakat Maududi kemudian menarik Maududi sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim. Hingga tahun 1924, Maududi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim. Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum Muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
Di New Delhi, Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan minat intelektualnya. Dia belajar Bahasa Inggris dan membaca karya-karya ilmuan Barat. Jami’at mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama. Dia memulai di Dars-I Nizami, sebuah silabus pendidikan agama yang populer di sekolah agama Asia Selatan sejak abad ke delapan belas. Pada tahun 1926, dia menerima sertifikat pendidikan agama dan menjadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia menjadi sinis terhadap nasionalisme yang dia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan Muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniyah dan Kekhalifahan Muslim. Dia juga tidak lagi percaya kepada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan orang Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Dia mengungkapkan ketidaksukaannya pada nasionalisme dan sekutu Muslimnya.
Sejak itu, sebagai upaya menentang imperialisme, Maududi menganjurkan aksi Islami, bukan nasionalis. Dia percaya, aksi yang dia anjurkan akan melindungi kepentingan kaum Muslimin. Hal ini memberi tempat bagi sebuah wacana kebangkitan.
Pada tahun 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin kebangkitan Hindu. Swami memancing kemarahan kaum Muslimin karena dengan terang-terangan meremehkan keyakinan kaum Muslimin. Kematian Swami menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maududi pun bertindak. Dia menulis bukunya yang terkenal mengenai perang dan damai, kekerasan dan jihad dalam Islam, yang berjudul Al Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan sistematis sikap Muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam. Buku ini mendapat sambutan hangat dari kaum Muslimin. Hal ini semakin menegaskan Maududi sebagai intelektual umat.
Sisa terakhir pemerintahan Muslim pada saat itu kelihatan semakin tidak pasti. Maududi pun berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya kekuasaan muslim. Dia berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya. Karenanya, Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada pemerintahan saat itu, namun sayangnya tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari solusi sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum Muslimin.
Gagasannya dia wujudkan dengan mendirikan Jama’at Islami (Partai Islam), pada bulan Agustus 1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri, Jama’at Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksinya.
Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula, banyak karyanya terlahir di tengah-tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385 anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah “kembali” kepada Islam, dengan membawa pandangan baru yang lebih religius.[]

No comments:

Post a Comment