Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam
kebangkitan Islam di India. Ia lahir dalam sebuah keluarga syarif di Aurangabad, India Selatan, pada tanggal 25 September 1903. Rasa kedekatan keluarga ini dengan warisan
pemerintahan Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan
sentral dalam membentuk pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahanda Maududi, sangat menyukai tasawuf. Dia berhasil menciptakan kondisi yang
sangat religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Dia berupaya membesarkan anak-anaknya
dalam kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang dia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem
ini tidak ada pelajaran Bahasa Inggris dan sesuatu yang
berbau modern,
yang ada hanya Bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Oleh karena itu, Maududi menjadi seorang ahli Bahasa Arab pada usia muda.
Pada usia sebelas tahun, Maududi memasuki sekolah di Aurangabad. Di sini dia mendapatkan pelajaran modern.
Namun, lima tahun kemudian dia terpaksa meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya
sakit keras dan kemudian wafat. Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang
menaruh minat pada soal-soal agama, dia hanya suka politik. Sehingga Maududi tidak pernah mengakui dirinya sebagai ‘alim.
Kebanyakan biografi Maududi hanya menyebut dirinya sebagai jurnalis yang
belajar agama sendiri. Semangat nasionalisme India-nya tumbuh subur. Dalam beberapa
esainya, dia
memuji pimpinan Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan
Malaviya.
Pada tahun 1919, dia pergi ke Jubalpur untuk bekerja di koran mingguan partai pro-Kongres yang bernama Taj. Di sini dia menjadi sepenuhnya aktif dalam gerakan
khilafah, serta aktif memobilisasi kaum Muslim untuk mendukung Partai Kongres.
Kemudian Maududi kembali ke New Delhi dan berkenalan dengan pemimpin
penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi menerbitkan surat
kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu
tidak lama. Selama itulah pandangan politik Maududi kian religius. Dia kemudian bergabung dengan Tahrik-I Hijrah (gerakan hijrah) yang
mendorong kaum Muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang dianggap
sebagai Dar al-Islam (Negeri Islam).
Pada tahun 1921, Maududi berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind (Masyarakat Ulama India). Ulama jami’at yang terkesan dengan bakat Maududi kemudian menarik Maududi
sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim.
Hingga tahun 1924, Maududi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim.
Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum Muslimin dan jadi aktif dalam urusan
agamanya. Namun, saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada
kebangkitan Islam.
Di New Delhi, Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan
minat intelektualnya. Dia belajar Bahasa Inggris dan membaca karya-karya ilmuan Barat. Jami’at mendorongnya untuk
mengenyam pendidikan formal agama. Dia memulai di Dars-I Nizami, sebuah silabus pendidikan
agama yang populer di sekolah agama Asia Selatan sejak abad ke delapan belas.
Pada tahun 1926,
dia
menerima sertifikat pendidikan agama dan menjadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi
mengalami perubahan besar. Dia menjadi sinis terhadap nasionalisme yang dia yakini hanya menyesatkan orang
Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan Muslim dengan cara menolak imperium
‘Utsmaniyah
dan Kekhalifahan
Muslim.
Dia juga tidak
lagi percaya kepada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa Partai
Kongres hanya mengutamakan kepentingan orang Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Dia mengungkapkan ketidaksukaannya pada
nasionalisme dan sekutu Muslimnya.
Sejak itu, sebagai upaya menentang imperialisme, Maududi
menganjurkan aksi Islami, bukan nasionalis. Dia percaya, aksi yang dia anjurkan akan melindungi
kepentingan kaum Muslimin. Hal ini memberi tempat bagi sebuah wacana kebangkitan.
Pada tahun 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin
kebangkitan Hindu. Swami memancing kemarahan kaum Muslimin karena dengan terang-terangan meremehkan keyakinan
kaum Muslimin.
Kematian Swami menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah agama kekerasan.
Maududi pun bertindak. Dia menulis bukunya yang terkenal mengenai perang dan damai,
kekerasan dan jihad dalam Islam, yang berjudul Al Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan sistematis sikap Muslim
mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam. Buku
ini mendapat sambutan hangat dari kaum Muslimin. Hal ini semakin menegaskan Maududi sebagai
intelektual umat.
Sisa terakhir pemerintahan Muslim pada saat itu kelihatan semakin
tidak pasti. Maududi pun berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya
kekuasaan muslim. Dia berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak
oleh masuknya adat istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan
ajaran sejatinya. Karenanya, Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada pemerintahan
saat itu, namun sayangnya tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari solusi
sosio-politik menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum Muslimin.
Gagasannya dia wujudkan dengan mendirikan Jama’at Islami (Partai Islam), pada bulan Agustus 1941, bersama sejumlah
aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri, Jama’at Islami pindah ke
Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan struktur partai, sikap politik,
ideologi, dan rencana aksinya.
Sejak itulah Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat
menuju keselamatan politik dan agama. Sejak itu pula, banyak karyanya terlahir di
tengah-tengah umat. Ketika India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama
385 anggota jama’at memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan
Maududi sebagai pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi
erat kaitannya dengan perkembangan Jama’at. Dia telah “kembali” kepada Islam,
dengan membawa pandangan baru yang lebih religius.[]
No comments:
Post a Comment