Seorang
penyair Puritan dari Inggris bernama John Milton (1608-1674) ketika hidupnya,
merasa sangat terusik oleh catatan tentang sikap tidak toleran Gereja. Milton
adalah seorang manusia sejati pada masanya. Melalui risalahnya yang tidak
diterbitkan, On Christian Doctrine,
dia berupaya melakukan reformasi atas Reformasi Gereja dan menciptakan sebuah
kredo keagamaan untuk dirinya sendiri yang tidak bergantung pada keyakinan
maupun keputusan orang lain. Dia juga meragukan doktrin-doktrin tradisional
semacam Trinitas. Namun, penting untuk dicatat bahwa pahlawan sejati dalam
karya utamanya Paradise Lost adalah
setan, bukannya Tuhan, yang perbuatan-perbuatannya bertujuan untuk meluruskan
manusia.
Setan
memiliki banyak sifat orang Eropa Baru: dia menolak autoritas, menentang
kebodohan, dan menjadi penjelajah yang pertama dalam pengembaraannya yang
berani dari neraka, melintasi kekacauan menuju bumi yang baru diciptakan. Akan
tetapi, Tuhan Milton tampaknya menghadirkan absurditas yang sudah melekat di
dalam literalisme Barat. Tanpa pemahaman mistikal terhadap Trinitas, posisi
Putra Tuhan menjadi sangat membingungkan di dalam puisinya. Tidak jelas apakah
dia adalah wujud kedua di samping Tuhan atau makhluk seperti malaikat dengan
derajat yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, dia dan Bapa merupakan dua wujud
terpisah yang mesti terlibat dalam pembicaraan panjang lebar yang menjemukan
untuk mengetahui niat satu sama lain, meskipun sang Putra diakui sebagai Firman
dan Hikmat sang Bapa.
Cara
Milton menampilkan prapengetahuan Tuhan tentang peristiwa-peristiwa di bumilah
yang membuat konsep ketuhanannya dapat dipercaya. Karena Tuhan pasti sudah
mengetahui bahwa Adam dan Hawa akan jatuh, bahkan sebelum setan tiba di bumi,
Tuhan mesti mengadakan justifikasi yang agak khusus bagi tindakannya sebelum
kejadian itu. Dia tidak menyenangi kepatuhan yang terpaksa, demikian
dijelaskannya kepada sang Putra, maka dianugerahkannya kepada Adam dan Hawa
kemampuan untuk melawan setan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat, demikian
argumen Tuhan secara defensif, dibenarkan untuk menuduh,
Pencipta mereka, atau penciptaan mereka, atau Nasib
mereka; seakan-akan Predestinasi berdaulat atas Kehendak mereka, diatur oleh
Ketetapan mutlak atau pengetahuan yang telah ada sejak semula: mereka
sendirilah yang memutuskan perbuatan mereka sendiri; bukan Aku: jika Aku
mengetahui sejak semula, prapengetahuan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap
kesalahan mereka, yang tentunya membuktikan sejenis ketidaktahuan azali . . .
Kucipta mereka bebas, dan mereka harus tetap bebas hingga mereka membelenggu
diri sendiri: Aku pun mesti mengubah watak mereka, dan mengeluarkan Keputusan
agung yang tidak dapat berubah, Abadi, yang menobatkan kebebasan mereka: mereka
sendiri yang menyebabkan kejatuhan mereka.
Pemikiran
yang ceroboh ini bukan hanya sulit untuk dihormati, Tuhan yang digambarkannya
pun tampak kejam, kaku, dan sama sekali tidak memiliki kasih sayang yang
semestinya diilhamkan oleh agamanya. Memaksa Tuhan untuk berbicara dan berpikir
seperti halnya kita dalam cara ini menunjukkan ketidaklayakan konsepsi
ketuhanan yang antropomorfik dan personalistik. Terlalu banyak kontradiksi
dalam konsepsi Tuhan semacam ini sehingga sulit untuk menjadi koheren atau
layak dihormati.
Doktrin
tentang kemahatahuan Tuhan dan yang semacamnya tidak bisa dipahami secara
harfiah. Tuhan Milton bukan saja dingin dan legalistik, melainkan juga sangat
tidak kompeten. Dalam dua jilid terakhir Paradise
Lost, dikisahkan bahwa Tuhan mengutus Malaikat Mikail untuk melipur Adam
atas dosanya, dengan menunjukkan kepadanya bagaimana nanti anak keturunannya
akan diampuni. Seluruh alur sejarah penyelamatan ditampakkan kepada Adam dalam
serangkaian tablo, dengan uraian dari Mikail: dia melihat pembunuhan Habil oleh
Qabil, Banjir Besar dan Bahtera Nuh, Menara Babil, panggilan kepada Ibrahim,
pengusiran dari Mesir, dan Taurat di Sinai. Mikail menjelaskan bahwa
ketidaklayakan Taurat, yang menindas umat pilihan Tuhan yang malang selama
berabad-abad, merupakan cara untuk membuat mereka rindu pada kehadiran suatu
hukum yang lebih spiritual. Seiring perkembangan kisah penyelamatan di Hari
Akhir ini, melalui kejayaan Raja Daud, pengusiran ke Babilonia, dan seterusnya,
pembaca akan mengetahui bahwa pasti terdapat jalan yang lebih mudah dan
langsung untuk penebusan dosa manusia. Kenyataan bahwa rencana yang
berliku-liku ini, dengan kegagalan dan titik awalnya yang salah, telah
ditetapkan sejak awal hanya akan menimbulkan keraguan besar tentang kecerdasan
Penggagasnya. Tuhan Milton tidak banyak mengilhami rasa percaya diri. Lalu,
pada bagian akhir Paradise Lost, Adam
dan Hawa menempuh jalan mereka masing-masing keluar dari surga dan menuju
dunia.[]
No comments:
Post a Comment