Pages

Saturday, February 23, 2013

PARADISE LOST, BUKU TENTANG PERJUANGAN SETAN


Seorang penyair Puritan dari Inggris bernama John Milton (1608-1674) ketika hidupnya, merasa sangat terusik oleh catatan tentang sikap tidak toleran Gereja. Milton adalah seorang manusia sejati pada masanya. Melalui risalahnya yang tidak diterbitkan, On Christian Doctrine, dia berupaya melakukan reformasi atas Reformasi Gereja dan menciptakan sebuah kredo keagamaan untuk dirinya sendiri yang tidak bergantung pada keyakinan maupun keputusan orang lain. Dia juga meragukan doktrin-doktrin tradisional semacam Trinitas. Namun, penting untuk dicatat bahwa pahlawan sejati dalam karya utamanya Paradise Lost adalah setan, bukannya Tuhan, yang perbuatan-perbuatannya bertujuan untuk meluruskan manusia.
Setan memiliki banyak sifat orang Eropa Baru: dia menolak autoritas, menentang kebodohan, dan menjadi penjelajah yang pertama dalam pengembaraannya yang berani dari neraka, melintasi kekacauan menuju bumi yang baru diciptakan. Akan tetapi, Tuhan Milton tampaknya menghadirkan absurditas yang sudah melekat di dalam literalisme Barat. Tanpa pemahaman mistikal terhadap Trinitas, posisi Putra Tuhan menjadi sangat membingungkan di dalam puisinya. Tidak jelas apakah dia adalah wujud kedua di samping Tuhan atau makhluk seperti malaikat dengan derajat yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, dia dan Bapa merupakan dua wujud terpisah yang mesti terlibat dalam pembicaraan panjang lebar yang menjemukan untuk mengetahui niat satu sama lain, meskipun sang Putra diakui sebagai Firman dan Hikmat sang Bapa.
Cara Milton menampilkan prapengetahuan Tuhan tentang peristiwa-peristiwa di bumilah yang membuat konsep ketuhanannya dapat dipercaya. Karena Tuhan pasti sudah mengetahui bahwa Adam dan Hawa akan jatuh, bahkan sebelum setan tiba di bumi, Tuhan mesti mengadakan justifikasi yang agak khusus bagi tindakannya sebelum kejadian itu. Dia tidak menyenangi kepatuhan yang terpaksa, demikian dijelaskannya kepada sang Putra, maka dianugerahkannya kepada Adam dan Hawa kemampuan untuk melawan setan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat, demikian argumen Tuhan secara defensif, dibenarkan untuk menuduh,

Pencipta mereka, atau penciptaan mereka, atau Nasib mereka; seakan-akan Predestinasi berdaulat atas Kehendak mereka, diatur oleh Ketetapan mutlak atau pengetahuan yang telah ada sejak semula: mereka sendirilah yang memutuskan perbuatan mereka sendiri; bukan Aku: jika Aku mengetahui sejak semula, prapengetahuan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap kesalahan mereka, yang tentunya membuktikan sejenis ketidaktahuan azali . . . Kucipta mereka bebas, dan mereka harus tetap bebas hingga mereka membelenggu diri sendiri: Aku pun mesti mengubah watak mereka, dan mengeluarkan Keputusan agung yang tidak dapat berubah, Abadi, yang menobatkan kebebasan mereka: mereka sendiri yang menyebabkan kejatuhan mereka.
Pemikiran yang ceroboh ini bukan hanya sulit untuk dihormati, Tuhan yang digambarkannya pun tampak kejam, kaku, dan sama sekali tidak memiliki kasih sayang yang semestinya diilhamkan oleh agamanya. Memaksa Tuhan untuk berbicara dan berpikir seperti halnya kita dalam cara ini menunjukkan ketidaklayakan konsepsi ketuhanan yang antropomorfik dan personalistik. Terlalu banyak kontradiksi dalam konsepsi Tuhan semacam ini sehingga sulit untuk menjadi koheren atau layak dihormati.
Doktrin tentang kemahatahuan Tuhan dan yang semacamnya tidak bisa dipahami secara harfiah. Tuhan Milton bukan saja dingin dan legalistik, melainkan juga sangat tidak kompeten. Dalam dua jilid terakhir Paradise Lost, dikisahkan bahwa Tuhan mengutus Malaikat Mikail untuk melipur Adam atas dosanya, dengan menunjukkan kepadanya bagaimana nanti anak keturunannya akan diampuni. Seluruh alur sejarah penyelamatan ditampakkan kepada Adam dalam serangkaian tablo, dengan uraian dari Mikail: dia melihat pembunuhan Habil oleh Qabil, Banjir Besar dan Bahtera Nuh, Menara Babil, panggilan kepada Ibrahim, pengusiran dari Mesir, dan Taurat di Sinai. Mikail menjelaskan bahwa ketidaklayakan Taurat, yang menindas umat pilihan Tuhan yang malang selama berabad-abad, merupakan cara untuk membuat mereka rindu pada kehadiran suatu hukum yang lebih spiritual. Seiring perkembangan kisah penyelamatan di Hari Akhir ini, melalui kejayaan Raja Daud, pengusiran ke Babilonia, dan seterusnya, pembaca akan mengetahui bahwa pasti terdapat jalan yang lebih mudah dan langsung untuk penebusan dosa manusia. Kenyataan bahwa rencana yang berliku-liku ini, dengan kegagalan dan titik awalnya yang salah, telah ditetapkan sejak awal hanya akan  menimbulkan keraguan besar tentang kecerdasan Penggagasnya. Tuhan Milton tidak banyak mengilhami rasa percaya diri. Lalu, pada bagian akhir Paradise Lost, Adam dan Hawa menempuh jalan mereka masing-masing keluar dari surga dan menuju dunia.[]

No comments:

Post a Comment